Menikah adalah komitmen dua orang manusia untuk hidup bersama. Ibarat kapal yang berlayar di samudra yang luas, di perjalanan dia akan selalu ada terjangan gelombang, pun badai akan selalu mengintai. Maka nakoda kapal dan awaknya harus menjaga keseimbangan agar kapal tak tenggelam. keseimbangan itu tidak akan terwujud jika keduanya tidak mempunyai visi yang sama, banyak orang yang mengatakan pernikahan itu harus seiya sekata seirama
a. Pernikahan
Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Dari zaman Sahabat Nabi
Muhammad SAW sampai abad moderen ini permasalahan perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita ahli kitab menjadi ikhtilaf. sebagian ulama berpendapat
bahwa pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab dibolehkan berdasarkan
zahir ayat 5 surah Al-Maidah. Sebagian ulama yang lainnya juga mengharamkan
pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan surah
Al-Baqarah ayat 221 dengan menjelaskan sikap ahli kitab berdasarkan Surah
Al-Bayyinah ayat 1.
Allah SWT berfirman
dalam Surah Al-Maidah ayat 5:
Ali
al-Sayis menjelaskan arti al-Muhsanat adalah sebagai jamak dari al-Muhsanah
yang artinya al-Harir atau wanita merdeka (bukan hamba sahaya) ada juga yang mengartikan
al-‘Afifah, yaitu wanita yang memelihara kehormatan dirinya. Dalam Al-Manar
dijelaskan, ulama mempersoalkan apakah masalah menikah dengan perempuan ahli
kitab itu dalam keadaan apapun, ataukah pengikut ahli kitab sebelum adanya
perubahan dan penyimpangan. Ungkapan ini menunjukan adanya dua kelompok
pandangan. Pertama dibolehkan menikahi Kitabiyah dalam kondisi apapun, sehingga
halal menkah dengan wanita Ahli Kitab dalam kondisi apapun. kelompok kedua
berpendapat yaitu Kitabiyah yang keyakinannya masih murni, sedangkan Kitabiyah
yang keyakinannya sudah menyimpang, menurut pandangan kelompok kedua haram
dinikahi.[2]
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada tangga l Juni 1980 tentang
haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, hal itu
didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan yang bersifat lokal, munurut Prof. KH
Ali Mustofa yaqub, MA bahwa fatma MUI itu didorong oleh kesadaran akan adanya
persaingan keagamaan. Para ulama menganggap bahwa persaingan tersebut telah
mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat Muslim.
karenanya, menurut mereka, pintu kemungkinan pernikahan antar agama harus
ditutup sama sekali.[3]
Prof.
KH. Ibrahim Hoesen menyimpulkan bahwa hukum menikah dengan wanita kitabiyah dibagi
atas tiga golongan. Golongan pertama menghalalkan pernikahan antara laki-laki
Muslim dengan wanita Kitabiyah berdasarkan alasan bahwa surah Al-Maidah ayat 5 sangat
jelas menghalalkan menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Golongan kedua
mengharamkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Kitabiyah (non
muslim). Sahabat Nabi Muhammad SAW yang mengharamkan pernikahan antara
laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab adalah Ibnu Umar. Ketika Ibnu Umar
ditanya tentang menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasranim, ia menjawab,
“sesunggunya Allah SWT mengharamkan wanita-wanita Musyrik bagi kaum Muslimin.
Aku tidak tahu, syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang
mengatakan bahwa Isa adalah tuhannya, sedangkan Isa adalah seorang di antara
hamba Allah. Golongan ketiga menghalalkan tetapi siasat tidak menghendakinya.
Pandangan yang demikian ini berdasarkan bahwa Umar pernah berkata pada sahabat
Nabi yang menikahi perempuan Ahli Kitab: “ceraikanlah mereka itu! Perintah ini
lalu diikuti oleh para sahabat kecuali Huzaifah. Lalu Umar mengulangi ucapannya
itu agar Huzaifah mengikutinya, lantas Huzaifah berkata “maukah engkau bersaksi
bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab itu hukumnya haram? Umar berkata dia akan
menjadi fitnah. Ceraikanlah!” Kemudian huzaifah berkata lagi “maukah engkau
bersaksi bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab itu hukumnya haram?” Umar menjawab
lagi dengan singkat “Ia adalah fitnah” akhirnya Huzaifah berkata “sesungguhnya
aku tahu bahwa dia adalah fitnah, tapi dia halal bagiku”. Setelah Huzaifah
meninggalkan Umar, barulah istrinya ditalak. Lants Huzaifah ditanya sahabat
yang lain “mengapa engkau tidak talak istrimu ketika diperintahkan oleh Umar?”
jawab Huzaifah “karena aku tidak ingin diketahui orang bahwa aku melakukan
sesuatu yang tidak layak”.[4]
b. Pernikahan
Perempuan Muslimah dengan Laki-laki Non Muslim
Seluruh Ulama sepakat
bahwa pernikahan peremuan Muslimah dengan laki-laki non Muslim hukumnya haram.
Ayat Al-Quran yang menjadi dasar keharamnnya adalah:
Artinya:
“dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221)
Khitab, atau titah
Allah pada ayat di atas ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan
wanita Islam dengan laki-laki yang bukan Islam . keharaman tersebut bersifat
mutlak, artinya wanita islam secara mutlak haram menikah dengan laki-laki bukan
islam[5]
Selain surah Al-Baqarah
ayat 221, keharaman pernikahan antara laki-laki non Muslim dengan perempuan Muslimah
adalah firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
(QS. Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini dengan tegas mengharamkan
pernikahan lelaki Kafir dengan perempuan Muslimah, demikian penjelasan para
ulama. Misalnya Imam Ibnu Katsir yang mengatakan dengan jelas bahwa ayat ini
secara tegas mengharamkan pernikahan lelaki musyrik dengan perempan muslimah.[6]
2. Nikah Mut’ah
Nikah mut'ah ialah
perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk
jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami
tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta
tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Ada 6 perbedaan prinsip
antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
a. Nikah
mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
b. Nikah
mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh,
sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
c. Nikah
mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni
menimbulkan pewarisan antara keduanya.
d. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri,
nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
e. Nikah
mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan
dengan wali dan saksi.
f. Nikah
mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan
suami memberikan nafkah kepada istri
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang
dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya:
Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami
berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan
kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami
berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan
kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu
tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404). Hadits Jabir bin Salamah: “Dari
Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam
sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang
mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117). Namun hukum ini telah dimansukh dengan
larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah
mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih
pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam,
namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada
saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam
zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh
Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314. Telah datang dalil yang amat jelas tentang
haramnya nikah mut’ah, diantaranya: Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu
‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging
himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407). Hadits
Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh
Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada
waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau melarang kami
sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh
bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari
mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404). Hadits
Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh
Shallallahu‘Alaihi wa Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah
selama tiga hari pada perang authos kemudian melarangnya” (HR.
Muslim 1023)[7].
[1] Ahmad
Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus: 2008,
hal. 14
[2] Ahmad
Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal. 16
[3] Ali
Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadits, Pustaka Firdaus:
2007, hal 30
[4] Ahmad
Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal. 23
[5] Ahmad
Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal. 15
[6] Ali
Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadits, hal 38
[7] Marzuki,
Memahami Hukum Nikah Mut’ah, hal. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar