Sabtu, 27 Februari 2016

Menikah Berbeda Agama


Menikah adalah komitmen dua orang manusia untuk hidup bersama. Ibarat kapal yang berlayar di samudra yang luas, di perjalanan dia akan selalu ada terjangan gelombang, pun badai akan selalu mengintai. Maka nakoda kapal dan awaknya harus menjaga keseimbangan agar kapal tak tenggelam. keseimbangan itu tidak akan terwujud jika keduanya tidak mempunyai visi yang sama, banyak orang yang mengatakan pernikahan itu harus seiya sekata seirama

a.       Pernikahan Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Dari zaman Sahabat Nabi Muhammad SAW sampai abad moderen ini permasalahan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menjadi ikhtilaf. sebagian ulama berpendapat bahwa pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab dibolehkan berdasarkan zahir ayat 5 surah Al-Maidah. Sebagian ulama yang lainnya juga mengharamkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 221 dengan menjelaskan sikap ahli kitab berdasarkan Surah Al-Bayyinah ayat 1.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 5:
            Ali al-Sayis menjelaskan arti al-Muhsanat adalah sebagai jamak dari al-Muhsanah yang artinya al-Harir atau wanita merdeka (bukan hamba sahaya) ada juga yang mengartikan al-‘Afifah, yaitu wanita yang memelihara kehormatan dirinya. Dalam Al-Manar dijelaskan, ulama mempersoalkan apakah masalah menikah dengan perempuan ahli kitab itu dalam keadaan apapun, ataukah pengikut ahli kitab sebelum adanya perubahan dan penyimpangan. Ungkapan ini menunjukan adanya dua kelompok pandangan. Pertama dibolehkan menikahi Kitabiyah dalam kondisi apapun, sehingga halal menkah dengan wanita Ahli Kitab dalam kondisi apapun. kelompok kedua berpendapat yaitu Kitabiyah yang keyakinannya masih murni, sedangkan Kitabiyah yang keyakinannya sudah menyimpang, menurut pandangan kelompok kedua haram dinikahi.[2]
            Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada tangga l Juni 1980 tentang haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, hal itu didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan yang bersifat lokal, munurut Prof. KH Ali Mustofa yaqub, MA bahwa fatma MUI itu didorong oleh kesadaran akan adanya persaingan keagamaan. Para ulama menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat Muslim. karenanya, menurut mereka, pintu kemungkinan pernikahan antar agama harus ditutup sama sekali.[3]
            Prof. KH. Ibrahim Hoesen menyimpulkan bahwa hukum menikah dengan wanita kitabiyah dibagi atas tiga golongan. Golongan pertama menghalalkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Kitabiyah berdasarkan alasan bahwa surah Al-Maidah ayat 5 sangat jelas menghalalkan menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Golongan kedua mengharamkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Kitabiyah (non muslim). Sahabat Nabi Muhammad SAW yang mengharamkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab adalah Ibnu Umar. Ketika Ibnu Umar ditanya tentang menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasranim, ia menjawab, “sesunggunya Allah SWT mengharamkan wanita-wanita Musyrik bagi kaum Muslimin. Aku tidak tahu, syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang mengatakan bahwa Isa adalah tuhannya, sedangkan Isa adalah seorang di antara hamba Allah. Golongan ketiga menghalalkan tetapi siasat tidak menghendakinya. Pandangan yang demikian ini berdasarkan bahwa Umar pernah berkata pada sahabat Nabi yang menikahi perempuan Ahli Kitab: “ceraikanlah mereka itu! Perintah ini lalu diikuti oleh para sahabat kecuali Huzaifah. Lalu Umar mengulangi ucapannya itu agar Huzaifah mengikutinya, lantas Huzaifah berkata “maukah engkau bersaksi bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab itu hukumnya haram? Umar berkata dia akan menjadi fitnah. Ceraikanlah!” Kemudian huzaifah berkata lagi “maukah engkau bersaksi bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab itu hukumnya haram?” Umar menjawab lagi dengan singkat “Ia adalah fitnah” akhirnya Huzaifah berkata “sesungguhnya aku tahu bahwa dia adalah fitnah, tapi dia halal bagiku”. Setelah Huzaifah meninggalkan Umar, barulah istrinya ditalak. Lants Huzaifah ditanya sahabat yang lain “mengapa engkau tidak talak istrimu ketika diperintahkan oleh Umar?” jawab Huzaifah “karena aku tidak ingin diketahui orang bahwa aku melakukan sesuatu yang tidak layak”.[4]

b.      Pernikahan Perempuan Muslimah dengan Laki-laki Non Muslim
Seluruh Ulama sepakat bahwa pernikahan peremuan Muslimah dengan laki-laki non Muslim hukumnya haram. Ayat Al-Quran yang menjadi dasar keharamnnya adalah:
Artinya:
“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221)
Khitab, atau titah Allah pada ayat di atas ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki yang bukan Islam . keharaman tersebut bersifat mutlak, artinya wanita islam secara mutlak haram menikah dengan laki-laki bukan islam[5]
Selain surah Al-Baqarah ayat 221, keharaman pernikahan antara laki-laki non Muslim dengan perempuan Muslimah adalah firman Allah SWT sebagai berikut: 
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini dengan tegas mengharamkan pernikahan lelaki Kafir dengan perempuan Muslimah, demikian penjelasan para ulama. Misalnya Imam Ibnu Katsir yang mengatakan dengan jelas bahwa ayat ini secara tegas mengharamkan pernikahan lelaki musyrik dengan perempan muslimah.[6]
2.      Nikah Mut’ah
Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
a.       Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
b.      Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
c.       Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
d.       Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
e.       Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
f.       Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya:
Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404). Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117). Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314. Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya: Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407). Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404). Hadits Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu‘Alaihi wa Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang authos kemudian melarangnya” (HR. Muslim 1023)[7].


[1] Ahmad Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus: 2008, hal. 14
[2] Ahmad Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  hal. 16
[3] Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadits, Pustaka Firdaus: 2007, hal 30
[4] Ahmad Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  hal. 23
[5] Ahmad Sukarja, Problematika Hukum Islam Kontemporer,  hal. 15
[6] Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadits, hal 38
[7] Marzuki, Memahami Hukum Nikah Mut’ah, hal. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar