Serangan teroris yang menghancurkan WTC (World trade
Centre) pada 11 September 2001 berpengaruh besar terhadap citra umat
Islam di mata dunia. Islam dan umat Islam menjadi pihak tertuduh dalam
aksi tersebut. Itu adalah awal di mana dunia menganggap bahwa Islam
“seolah-olah” adalah kekerasan atau Islam adalah teroris. Setahun
setelah serangan di Amerika Serikat, aksi teror terjadi di Indonesia
pada 12 Oktober 2002 di pulau Bali. Serangan teror yang juga disebut bom
bali itu dianggap sebagai aksi terorisme terparah dalam sejarah
Indonesia.
Berangkat dari serangan teror mengatas namakan jihad fii sabilillah
yang menebarkan ancaman dan kekhawatiran banyak orang menimbulkan
pertanyaan yang sangat mendasar “Benarkah Islam mengajarkan kekerasan
dan terorisme?”
Islam adalah agama kedamaian yang menebarkan kasih sayang di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT “Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya (21): 107).
Pandangan bahwa Islam adalah agama teroris disebabkan oleh
ketidaktahuan seseorang tentang ajaran Islam yang sesungguhnya. Meraka
sudah terlanjur menganggap Islam adalah dalang dibalik semua aksi teror
dan kekerasan. Padahal pelakunya adalah kelompok radikal yang
mengartikan jihad sebagai perang melawan pemerintahan thaghut (pemerintahan yang tidak menerapkan hukum islam).
Asas Islam pada dasarnya melindungi lima hal yang sangat
penting dalam kehidupan, yaitu; pertama, kebutuhan pranata nilai dan
spiritual (Hifzhu al-din). Kedua,hak hidup (hifzhu al-nafs). Ketiga, hak property (hifzhu al-mal). Keempat, kehormatan dan martabat (hifzhu al-a’radh). Kelima, mengatur autentisitas keturunan (hifzhu al-nasab).
Meneladani jihad ala Rasulullah Saw. seyogyanya harus
memahami kondisi perang pada masa itu juga. Sejarah Islam
mengklasifikasi dakwah Rasulallah SAW menjadi dua priode, priode Mekah
dan prioede madinah. Setelah Muhammad mendapatkan wahyu pertama
menandakan dakwah priode Mekah dimulai. Seruan nabi Muhammad tidak serta
merta menyeru semua orang untuk meninggalkan Latta dan uzzah
lalu memeluk Islam, tapi permulaan dakwah pada fase Mekah dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi dengan cara mengajak orang-orang terdekat.
Setelah tiga tahun dakwah dengan cara sembunyi-sembunyi
Allah memerintahkan nabi Muhammad untuk menyeru semua orang memeluk
Islam secara terang-terangan. Tapi dakwah nabi Muhammad mendapatkan
kecaman dan tentangan dari kaum kafir Quraisy. Nabi dan para sahabat
tidak membalas perlakuan orang kafir Quraisy dan bersabar menghadapi itu
semua sampai akhirnya hijrah ke madinah.
Sejak meningkatnya penindasan kaum musyrikin Mekah terhadap
umat Islam para sahabat banyak yang meminta izin kepada nabi agar
diperbolehkan membalas, namun nabi meminta mereka untuk bersabar, sampai
akhirnya Allah swt mengizinkan membalas perbuatan orang-orang musyrik
dengan turunnya surah al-hajj ayat 39.
“telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan Sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka”.
Ayat ini memperbolehkan pembelaan diri, negara, harta dan
kehormatan walaupun mengakibatkan terenggutnya nyawa lawan, pada
ayat-ayat yang lain allah tidak memerintahkan perang kecuali ada fitnah
atau orang kafir terlebih dahulu memerangi muslim.
Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh memulai peperangan
kecuali jika orang Kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam
Islam lebih bersifat defensive sebagai upaya mempertahankan diri bila
ada ancaman dan serangan. Tetapi masalahnya Seringkali teks-teks jihad
atau perang dalam al-Quran difahami secara parsial dan tidak menyeluruh.
Dalil yang sering kali dijadikan landasan oleh kelompok radikal untuk melancarkan serangan aksi teror adalah firman Allah SWT:
“dan bunuhlah mereka di mana pun kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana pun mereka telah mengusirmu” (QS. Al-Baqarah: 191).
Mereka menjadikan penggalan ayat tersebut sebagai titik
fokus untuk membenarkan aksi teror yang mereka lakukan. Padahal jika
dipahami secara komprehensif surah al-Baqarah ayat 191 tidak akan
menimbulkan kesan yang menyeramkan.
Pada ayat sebelumnya (al-Baqarah: 190) Allah memang
memerintahkan umat Islam berperang tapi jika musuh yang terlebih dahulu
menyerang dan tidak melampau batas. Kemudian lanjutan ayat di atas
(al-Baqarah: 191) menjelaskan untuk tidak memerangi musuh jika mereka
memasuki area Masjidil Haram, tetapi jika mereka menyerang terlebih
dahulu maka perangilah mereka. Pada surah al-Baqarah: 193 Allah
menegaskan:
“dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan
agama hanya bagi Allah semata, jika mereka berhenti maka tidak ada lagi
permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim”
Indikasi diwajibkannya perang adalah karena adanya fitnah.
Jika dalam suatu daerah tidak ada fitnah maka tidak diwajibkan
berperang. Fitnah dalam ayat ini adalah kekacauan, merapas hak orang
lain, menyakiti, dan mengganggu kebebasan beragama.
Pemahaman yang keliru sering kali mengartikan jihad sebagai
tindakan melawan orang kafir (non muslim), menghancurkan fasilitas dan
kepentingan pihak barat dengan cara apapun. Maka aksi teror bisa saja
terjadi jika seseorang memahami ayat jihad dan perang berdasarkan nafsu
yang tidak memperhatikan sabab nuzul (latar permasalahan turunnya
wahyu), munasabah ayat (korelasi antar ayat) dan susunan kebahasaan yang
merupakan syarat utama menafsirkan suatu ayat.
Trem jihad dalam al-Quran tidak identik dengan kekerasan
atau kekuatan fisik melawan musuh melainkan sebagai kesungguhan dalam
memperjuangkan kebenaran. Dalam sebuah hadis sangat jelas diceritakan,
ketika itu nabi dan para sahabat baru saja pulang dari perang badar.
Kemudian nabi Muhammad berkata pada para sahabat, “umat islam baru saja
pulang dari jihad kecil dan menuju jihad yang lebih besar yaitu
menundukkan nafsu.”