Jumat, 16 Desember 2016

MELIHAT JAKARTA DARI TRANSJAKARTA

“Kamu tinggal di Jakarta sedah dapet apa saja?” adalah salah satu pertanyaan yang berhasil membuat seorang perantau malas pulang ke kampong halaman. “saya sudah pernah naik transjakarta, bis tingkat dan cumuterline” sebagian dari mereak ada yang menjawab demikian dengan bangga. 
Sebagai makhluk yang dibekali pikiran sehat tentu para perantau akan berpikir keras apa saja yang mereka lakukan di Jakarta selama ini? Jika lima tahun tainggal di Ibu Kota  dengan semua hiruk pikuk yang ada apalagi dengan modal pas-pasan, tidak punya kendaraan pribadi dan harus menggantungkan hidup pada transjakarta, ditambah dengan kemacetan yang menyebalkan, rasa-rasanya hidup merka sangat mudzir.
Jika kita ilustrasikan 1 hari 2 kali dengan rata-rata perjalanan 2 jam di transjakarta. 2 kali x 2 jam x 30 hari x 12 bulan x 5 tahun = 7.200 jam. Betapa sia-sia hidup mereka.
Saya mencoba mencarai makna dari 7.200. Sherlock pernah bersabda katanya “hidup itu berjalan sesuai dengan simbol-simbol”. Kita lihat surat ke 7 (Al-A’raf) ayat ke-200: “dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah” Alamak banyak-banyak berlindung kepada tuhan wahai para pengguna transjakarta. 
Selama ini saya baru sadar ternyata kehdiupan di Jakarta bisa dilihat dari Transjakarta. Tiga tahun yang lalu angkutan masa bernama transjakarta ini sudah tidak menerima pembayaran cash, semua pembayaran menggunakan uang ghaib.
 Semua orang ingin serba instan dan cepat. Banyak penawaran-penawaran kerja hanya dengan modal online di smartphone doang, segala pemesanan tinggal klik, lama-lama manusia sudah malas lagi beraktifitas. Saya khawatir suatu saat nanti kita akan dijajah oleh teknologi. Dasar manusia modern. Jika masa kecil anda bahagia pasti tahu serial filem petualangan Nobita dan labirin kaleng. Nasib kita akan seperti Nobio dan keluarganya. 
Suatu hari saya pernah terdampar di halte Busway Harmoni. Setelah menunggu waktu lumayan lama transjakarta datang. Antrian panjang lari menyerbu masuk. Sikut kanan sikut kiri demi mendapatkan kursi. Kelakuam mereka mengingatkan saya pada calon penguasa yang berebut kursi. Padahal sudah dihimbau utamakan yang turun. Dasar orang tamak masa kursi di transjakrta saja mau dikudeta?
Mereka yang tidak mendapatkan kedudukan harus rela berdiri, dengan ekspresinya yang kecut saya tahu mereka selalu berharap ada yang turun di halte terdekat. Tapi kenyataanya banyak pula yang masuk. Seleksi alam tidak melulu soal mengalahkan lawan yang ada tapi juga akan datang musuh yang baru. 
Dari transjakarta pula saya melihat ketidakpedulian. Di sana memang disediakan empat kursi prioritas khusus untuk penyandang disabilitas, manula, ibu hamil dan yang sedang menggendong bayi. Ketika mereka yang berhak menduduki kuris itu memasuki transjakarta semua diam bahkan pura-pura tidur. 
Pernah sekali waktu saya duduk nyaman di transjakarta kemudian seorang pria berkepala lima kira-kira, dengan rambutnya yang memutih, kulitnya keriput lengkap dengan pakaiannya yang lusuh saya persilahkan duduk. Selang beberapa saat saya melihat dia mangap teridur lelap. betapa kejamnya kota ini.
Suatu hal yang abnormal saya jumpai dari Ciputat-Rambutan. Ciputat adalah basik markas mahasiswa, banyak kos-kosan, rumah-rumah makan murah, angkringan-angkringan kece yang murah juga, targetnya jelas dompet-dompet mahasiswa. Ironi sekali ketia tidak ada satu pun yang duduk di transjakarta sambil membaca buku. Pantas saja jika minat baca kita sangat rendah. 
Semoga tulisan saya tidak dibaca sebagai promosi transjakarta. terimakasih

Minggu, 06 November 2016

NAMANYA BACALIMA

Nama adalah harapan, nama adalah doa, nama juga bisa menyimpan sejarah dan kenangan. Setiap bayi yang baru lahir sudah diberikan beban yang sangat berat oleh orang tuanya. Seperti nama Muhammad, orang tuanya berharap kelak ia menjadi manusia teladan seperti nabi Muhammad SAW. 
Usia Perpustakaan Jalanan sudah satu bulan lebih, sudah saatnya diberikan nama. Focalis (Forum membaca dan menulis) menjadi opsi pertama, kemudian muncul beberapa kandidat nama seperti Komunitas Tanda Baca, Jus Aksara, Fajar Buku, Focasa (Forum baca aksara), Carasa (baca aksara baca semesta). Tapi semua itu hanya celotehan-celotehan saja. Akhirnya “Bacalima” terpilih menjadi nama komunitas yang  baru lahir ini. 
Kenapa sih Perpustakaan Jalanan ini harus deberi nama “Bacalima”? Sebenarnya buat keren-kerenan aja sih (walaupun memang terdenganrnya norak ). Tapi bukan hanya sekedar keren-kerenan, nama Bacalima pu nya makna dan pilosofi. 
Bacalah! Adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam al-Quran kata baca dengan bentuk fi’il amr (perintah) disebutkan pada lima ayat yang berbeda. Yaitu: QS. Al-Isra: 14, QS. Al-Haqah: 19, QS. al-Muzammil: 20, QS. Al-‘Alaq: 1 dan QS. Al-‘Alaq: 3. Maka lahirlah “Bacalima”. 
Sebenarnya kata baca dalam al-Quran memiliki dua term, yaitu qa-ra-a dan ta-la. Makna qa-ra-a bukan hanya sekedar membaca teks, tapi juga membaca situasi, kondisi atau juga peka terhadap lingkungan, sedangkan ta-la terbatas pada membaca teks. Keren kan? Biasa aja sih. 
Saat ini kegiatan kami baru buka lapak Perpustakaan Jalanan di Situ Gintung setiap hari minggu. Suatu hari nanti jika komunitas ini tumbuh besar dan banyak yang ikut berpartisipasi kita akan buka kegiatan-kegiatan sosial lainnya, atau mungkin duduk bareng, ngaji, diskusi membahas karaya-kara ilmiah atau nonilmiah. Sesekali ngarep boleh kan? Kami akan sangat senang sekali jika anda semua ikut bergabung, semakin banyak yang datang maka bocah yang baru lahir bernama Bacalima ini tidak merasa kesepian.

Selasa, 01 November 2016

AKAN KAMI KEPUNG SITU GINTUNG DENGAN BUKU

Ke sekian kalinya kami menggelar tikar dan meletakan buku-buku di Situ Gintung untuk dinikmati oleh siapa saja. Belum banyak cerita, rantangan yang kami hadapi tidak seberapa jika dibandingkan dengan mereka yang sudah bertahun-tahun menempuh jalan yang sama seperti kami, tentu dengan cara yang berbeda-beda. Mas Iwan Purnomo orang yang pertama kali mengapresiasi kami, setiap minggu ia tidak pernah bosan mengunjungi kami, karenanya kami merasa tidak sendiri. 
Perjalanan pertama mencari donasi buku ke Purwakarta adalah awal kenapa Perpustakaan Jalanan ini harus tetap ada. Buku dan majalah dari HR. Marfu Muhidin Ilyas, MA seperti vaksin yang diberikan kepada seorang bayi yang baru lahir, dia harus tetap sehat, tumbuh besar dan dewasa. 
Kang Rudy Ramdani dan Teh Seli Desmiarti sesungguhnya adalah inspirator semua ini. Karenanya saya mengenal banyak hal. Puisi, cerpen, novel, teater dan sebagainya. Saya tidak tahu siapa saya di BALAS? Saya tidak mengerti peran saya di Sang Sastra Purwakarta? Bahkan saya tidak tahu masa-masa itu saya hidup atau tidak? Tapi satu hal yang saya tahu, saya menikmati itu semua. 
Kawan-kawan yang setia menyirami tunas ini agar tetap hidup dan kelak akan meneduhkan orang yang bernaung dibawahnya. Aji Muksih Muhadi, Hafizh Hardian, M Farhan Iskandar adalah pemuda luar biasa yang merelakan hari minggunya membawa buku-buku ke Situ Gintung. Gus Farid dan Sabum Ryan yang memberikan tumpangan untuk bermalam di Purwakarta dengan diskusi Skrpis yang selalau mereka sajikan adalah cemilan yang lezat. Juga kawan-kawan yang lain yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. 
Malam ini Perpustakaan Jalanan mendapatkan tambahan buku dari Teh Shufrotul Hasanah dan Kang Fatur Rahim. Sampai saat ini tercatat ada 117 buku dan majalah. Jumlah yang cukup banyak, tapi kami rasa itu tidak cukup. Mungkin terlalu pagi untuk bermimpi. Tapi suatu saat nanti kami akan mengepung Situ Gintung dengan buku. Panjang Situ Gintung adalah 4.182 m jika satu rata-rata lebarnya 20 cm maka kami membutuhkan 20.910 buku. Luar biasa kan?

Sabtu, 22 Oktober 2016

HUJAN UJIAN DI PEKAN KE-3

Malam minggu ini doa kaum jomblo didengar tuhan. Hujan membasahi daerah Ibu Kota dan sekitarnya. Hal ini tidak jadi soal, karena saya tidak ada jadwal keluar malam minggu ini, walaupun sebenarnya ada acara malam kreasi santri, tapi akses ke lokasi cukup jauh dan tidak ada yang suka rela memberikan tumpangan gratis. 
Pagi selepas shalat Shubuh langit terlihat masih mendung. Awan menyimpan sia-sia air hujan tadi malam. Saya memaksakan diri pergi ke Situ Gintung dengan harapan hujan tidak turun, berjalan menyusuri jalan satapak membawa dua tas berisi buku dan majalah, sendirian.
Tidak lama setelah menggelar tikar dan menyusun rapi buku-buku bacaan Perpustakaan Jalanan hujuan turun. Tidak begitu deras memang, tapi tetesan-tetesan air hujan itu lebih dari cukup membasahi buku, saya tidak berani ngambil resiko membiarkan buku-buku yang sebagian besar pemberian para dermawan itu basah, akhirnya saya rapikan kembali dan menutupinya dengan tikar, dalam hati saya masih menyimpan harapan hujan reda lagi. 
Sambil memandangi orang-orang lari pagi, terlihat juga beberapa orang menjajakan makanan, di ujung selatan beberapa mahasiswa Fakultas Kedokteran masih bertahan memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Lebih dari 30 menit akhirnya hujan reda. Satu persatu saya susun lagi buku-buku itu. 
Tiba-tiba seorang gadis kecil bersama ayahnya datang. “om, aku minjem buku ya, mau baca”. Akhirnya ada juga pembaca hari ini, seorang gadis kecil itu membuatku bahagia, karenanya usaha kecil kenapa Perpustakaan Jalanan ini ada tidak sia-sia.

Minggu, 16 Oktober 2016

PERPUSTAKAAN JALANAN

Minggu ke-2 menggelar lapak Perpustakaan Jalanan di Situ Gintung. Masih banyak yang belum tahu, ada yang menganggap jualan buku sampai menyambut positif keberadaan Perpustakaan Jalanan ini. Biarkan itu menjadi penggalan episode yang akan kita ceritakan kepada anak-cucu kelak. 
Minggu lalu hanya ada 5 orang saja yang menyempatkan mampir dan membaca, hari ini lebih dari 30 orang dari anak-anak sampai orang dewasa bahkan ada beberapa yang usianya sudah mulai senja menyempatkan membaca. Kebahagiaan bagi kami yang membuka lapak sangat sederhana ternyata. Banyak yang berkunjung dan membaca pun kita bahagia. 
Sebagian ada yang bertanya buku-buku yang bisa dijadikan refernsi skrpis, tapi buku yang kami miliki masih sangat sedikit. Saya perhatikan kalangan anak-anak lebih suka membaca buku-buku bergambar seperti buku cerita, dongeng dll. Para remaja lebih melirik novel, kumpulan cerpen dan judul-judul buku yang unik seperti buku “Ya Allah, Aku Lelah”, “Ngopi Di Pesantren”. Orang dewasa banyak yang membaca buku-buku yang bersifat wacana dan kebudayaan seperti tokoh-tokoh perwayangan. 
Baru berjalan 2 minggu masih sangat muda. Seperti seorang anak yang baru bisa berjalan melangkahkan kaki akan sering terjatuh  dan masih membutuhkan pegangan dari orang tua. Pun demikian dengan kami yang membutuhkan dukungan dari semua pihak. Kami jalani kegiatan ini setiap hari Minggu, memberikan layanan edukasi bagi masyarakat, olah raga, olah pikir, sehat badan sehat pikiran. Kami  akan sangat senang jika ada yang bersedia memberikan buku-buku untuk kami bawa keliling menggelar Perpustakaan Jalanan, apalagi ikut bergabung, berpartisipasi dan memberikan ide-ide baru.
hubungi kami
Whatsapp: 0819-0323-0034
SMS: 0857-5923-3253