Sabtu, 27 Februari 2016

MANUSIA YANG MANUSIAWI DENGAN BUDAYA DAN MORAL YANG BAIK



Manusia adalah animal simbolik, disebut demikian karena manusia mengomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol yang menafsirkan simbol-simbol tersebut sesuai dengan kebutuhannya, kemampuan membuat simbol-simbol yang lebih luas ini yang membedakan manusia dengan binatang. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunya ketergantungan kepada individu yang lain, manusia juga sering disebut sebagai hewan yang rasional. Disebut hewan karena mempunyai kesamaan organ tubuh dengan hewan, akan tetapi manusia mempunyai akal yang membedakannya dengan hewan. Manusia adalah makhluk yang sangat unik dan sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya di dunia, manusia juga makhluk alami yang hidup berdasarkan insting dan rasio, sehingga kehidupan manusia terus berkembang, berbeda dengan binatang yang hanya menggunakan instingnya, sehingaa kehidupannya tidak berkembang.
Dalam surah At-Tin Allah SWT menegaskan:
لقد خلقنا الانسان فى احسن تقويم
Hal yang tidak dapat dilepaskan dalam membicarakan manusia adalah alam dan budaya. Manusia, alam dan budaya seperti segitiga sama sisi yang mempunya hubungan satu sama lain, semua aktifitas manusia tidak akan lepas dari budaya, karena budaya adalah aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri untuk beraktifitas, semua itu tidak akan ada jika tidak ada tempat manusia untuk beraktifitas, tempat manusia beraktifias itu disebut alam.
Penulis tidak setuju dengan ungkapan Xunzi yang menyatakan the nature of man is evil (hakekatnya manusia itu jahat) tidak ada alasan yang tepat jika tabiat manusia itu jahat. Akan tetapi tabiat manusia itu baik, karena manusia terlahir dalam keadaan yang baik dan segala yang bernilai buruk itu adalah hasil upaya manusia yang menggap perilaku yang mengganggunya itu tidak baik, maka sudah seharunya manusia berprilaku baik dan mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan yang baik, sehingga dia layak disebut manusia. Jika hal itu tidak ada pada diri manusia maka apa bedanya manusia dengan binatang? Sebagai mana firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf ayar 179:
“mereka (manusia) mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”
Pertanyaannya seperti apa sepsifikasi yang disebut “baik” dan “tidak baik”? sehingga manusia menjadi manusiawi? Pertanyaan seperti ini berkenaan dengan alasan dan motif-motif seseorang dalam melakukan tindakan, ketika seseorang melihat tindakan manusia, dalam hal ini dia melihat pembenaran moral dalam konsekwensi sebuah tindakan. Ia melihat bahwa sesuatu yang bernilai baik tidak akan melahirkan kejahatan, dan sesuatu yang bernilai buruk tidak akan melahirkan kebaikan.
Budaya sendiri menilai bahwa standar moral manusia banyak ditentukan oleh status sosialnya, inteligensinya. Padahal moralitas tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah yang membahagiakan dan penuh makna.
Ibnu miskawih mengatakan bahwa seluruh tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk, yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar. Ketika dia memutuskan bahwa perilaku itu baik dan bermanfaat baginya, ia pun akan memilih dan menetapkan sebagai prilaku yang harus dilakukan. Hal ini senda dengan Murtadha Muthahari yang mengatakan bahwa fikiran adalah barometer moral, manusia tidak diperkenankan mengerjakan sesuatu atas dasar pendahulunya.
Al-Kindi menegaskan bahawa fikirin manusia cendrung untuk berbuat kebaikan. Kebaikan adalah tabiat manusia sedangkan yang buruk hanya suatu aksiden, karena hal yang buruk adalah kemenangan nafsu atas nalar. Budaya akan menentukan sebuah pilihan di antara dua hal, menjadi manusia yang manusiawi atau manusia yang sama dengan binatang.
Ibnu Miskawih berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri atas 3 tingkatan, yakni nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas dan jiwa yang cerdas. Setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan jahat, potensi yang akan muncul pada seorang manusia bergantung pada pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.
 
REFERENSI
Budiono Kususmohamdijojo, Filsafat Kebudayaan, Yogyajarta: Jalasutra, 2009
Dr. H. Undang Ahmad Kamaluddin, M,Ag, Filsafat Manusia, Bandung: Pustaka Setia 2012
Murtadha Muthahari, Konsep Pendidikan Islam, Depok: Iqra Kurnia Gemilang, 2005
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar