Manusia
adalah animal simbolik, disebut demikian karena manusia mengomunikasikan bahasa
melalui simbol-simbol yang menafsirkan simbol-simbol tersebut sesuai dengan
kebutuhannya, kemampuan membuat simbol-simbol yang lebih luas ini yang
membedakan manusia dengan binatang. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang mempunya ketergantungan kepada individu yang lain, manusia
juga sering disebut sebagai hewan yang rasional. Disebut hewan karena mempunyai
kesamaan organ tubuh dengan hewan, akan tetapi manusia mempunyai akal yang
membedakannya dengan hewan. Manusia adalah makhluk yang sangat unik dan
sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya di dunia, manusia juga
makhluk alami yang hidup berdasarkan insting dan rasio, sehingga kehidupan
manusia terus berkembang, berbeda dengan binatang yang hanya menggunakan
instingnya, sehingaa kehidupannya tidak berkembang.
Dalam
surah At-Tin Allah SWT menegaskan:
لقد خلقنا الانسان فى احسن تقويم
Hal
yang tidak dapat dilepaskan dalam membicarakan manusia adalah alam dan budaya.
Manusia, alam dan budaya seperti segitiga sama sisi yang mempunya hubungan satu
sama lain, semua aktifitas manusia tidak akan lepas dari budaya, karena budaya
adalah aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri untuk beraktifitas, semua
itu tidak akan ada jika tidak ada tempat manusia untuk beraktifitas, tempat
manusia beraktifias itu disebut alam.
Penulis
tidak setuju dengan ungkapan Xunzi yang menyatakan the nature of man is evil
(hakekatnya manusia itu jahat) tidak ada alasan yang tepat jika tabiat
manusia itu jahat. Akan tetapi tabiat manusia itu baik, karena manusia terlahir
dalam keadaan yang baik dan segala yang bernilai buruk itu adalah hasil upaya
manusia yang menggap perilaku yang mengganggunya itu tidak baik, maka sudah
seharunya manusia berprilaku baik dan mempertahankan eksistensinya sebagai
makhluk yang diciptakan dalam keadaan yang baik, sehingga dia layak disebut
manusia. Jika hal itu tidak ada pada diri manusia maka apa bedanya manusia
dengan binatang? Sebagai mana firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf ayar 179:
“mereka
(manusia) mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai”
Pertanyaannya
seperti apa sepsifikasi yang disebut “baik” dan “tidak baik”? sehingga manusia
menjadi manusiawi? Pertanyaan seperti ini berkenaan dengan alasan dan
motif-motif seseorang dalam melakukan tindakan, ketika seseorang melihat
tindakan manusia, dalam hal ini dia melihat pembenaran moral dalam konsekwensi
sebuah tindakan. Ia melihat bahwa sesuatu yang bernilai baik tidak akan
melahirkan kejahatan, dan sesuatu yang bernilai buruk tidak akan melahirkan kebaikan.
Budaya
sendiri menilai bahwa standar moral manusia banyak ditentukan oleh status
sosialnya, inteligensinya. Padahal moralitas tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah yang
membahagiakan dan penuh makna.
Ibnu
miskawih mengatakan bahwa seluruh tingkah laku manusia yang baik ataupun yang
buruk, yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar. Ketika dia memutuskan
bahwa perilaku itu baik dan bermanfaat baginya, ia pun akan memilih dan
menetapkan sebagai prilaku yang harus dilakukan. Hal ini senda dengan Murtadha Muthahari
yang mengatakan bahwa fikiran adalah barometer moral, manusia tidak
diperkenankan mengerjakan sesuatu atas dasar pendahulunya.
Al-Kindi
menegaskan bahawa fikirin manusia cendrung untuk berbuat kebaikan. Kebaikan
adalah tabiat manusia sedangkan yang buruk hanya suatu aksiden, karena hal yang
buruk adalah kemenangan nafsu atas nalar. Budaya akan menentukan sebuah pilihan
di antara dua hal, menjadi manusia yang manusiawi atau manusia yang sama dengan
binatang.
Ibnu
Miskawih berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri atas 3 tingkatan, yakni nafsu
kebinatangan, nafsu binatang buas dan jiwa yang cerdas. Setiap manusia memiliki
potensi asal yang baik dan jahat, potensi yang akan muncul pada seorang manusia
bergantung pada pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.
REFERENSI
Budiono
Kususmohamdijojo, Filsafat Kebudayaan, Yogyajarta: Jalasutra, 2009
Dr.
H. Undang Ahmad Kamaluddin, M,Ag, Filsafat Manusia, Bandung: Pustaka
Setia 2012
Murtadha
Muthahari, Konsep Pendidikan Islam, Depok: Iqra Kurnia Gemilang, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar