Selasa, 10 Januari 2017

Cinaku Sayang Cinaku Malang

“Brand” terbesar yang menguasai pasar Indonesia setelah label halal milik MUI adalah “Made In China”. Stempel halal milik MUI hanya bisa kita jumpai pada kemasan makanan saja, konon kalau ada makanan yang tidak ditantadai dengan kumuplan huruf hijaiyah ha-lam-alif-lam yang dikelilingi kaligrafi Majelis Ulama Indonesia  dalam huruf arab ke-halal-annya diragukan, bahkan yang lebih ekstirm lagi hukumnya haram. 

Sebuah ungkapan yang sedikit aneh menurut saya. “Pakailah kerudung yang halal”. Alasannya karena banyak beredar kain-kain dengan bahan dasar bulu babi. kalau kerudung  yang digunakan harus berlabel halal maka seharunya baju, celana, bahkan pakaian dalam sekali pun harus bersertifikat halal. Jika kehalalan pakaian menjadi barometer sah tidaknya ibadah (Shalat) seseorang, maka bagimana nasib mereka yang hobi belanja daleman di pasar tumpah setiap akhir pekan yang harganya gocengan?

Pemahaman saya tentang surat al-Baqarah: 168 yang mengatakan tentang makanlah segala sesuatu yang ada di bumi yang halal menjadi muabadzir, sia-sia pula masa muda saya yang mengkaji kitab kuning yang menyebutkan bahawa salah satu syarat sah solat itu adalah menggunakan pakaian yang suci bukan yang halal.

Hal lain yang membuat mata saya terbelalak bahkan sampai mengerutkan dahai adalah sampai saat ini saya belum pernah melihat ada babi berbulu. yang saya ketahui bulu babi adalah salah satu jenis binatang laut yang bentuknya mirip buah rambutan busuk.

Saya tidak akan panjang lebar membahas label halal milik MUI, bagaimanapun juga mereka adalah ulama. Saya takut kualat atau hudup tidak berkah. Saya juga takut dikira nyiyir pada MUI. Nanati ada orang yang membawa draft dengan pertanyaan semisal “kapan terkahir baca al-Quran dengan arti dan tafsirnya? Kapan terakhir baca kitab shohih Bukhary? Kapan terkahir baca kitab kuning?” dan segudang kapan yang akan membuatku kikuk. Oh termakasih om Tere Liye. Anda sukses menjaga wibawa ulama.

Saya heran kenpa orang-orang banyak yang membicarakan Cina, Tiongkok, Tionghoa dan Komunis. Gerakan anti komunis sudah lama saya dengar, katanya jika PKI bangkit akan mengancam kesatuan dan persatuan Republik Indonesai. Lalu apa hubungannya dengan Cina? Ya, karena  Cina seringkali dianggap sebagai negara komunis, padahal tidak semua orang cina (keturunan tionghoa) itu komunis dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak ada pribumi yang menganut faham komunis. Apakah Indonesia hari ini terjangkit Chinafobia atau anti-tionghoa? sebuah pertanyaan yang hanya kita sendiri yang mengetahui jawabannya.

Poerwanto Hari dalam bukunya Orang Cina Khek Dari Singkawang, menjelaskan bahwa bangsa China sudah ada di Indonesia sejak abad ke-5 M, bahkan ada sumber yang menjelaskan hubungan Cina-Indonesia sudah terjalin sejak dinasti Han, yaitu pada abad ke-5 SM. Bangsa Cina adalah para pedagang yang mencari rempah-rempah ke Indonesia, karena beberapa hal mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat.

Hubungan Cina-Indonesia sangat menarik untuk dikaji, sebagai pedangan yang mencari suaka, bangsa Cina bisa jadi kawan atau lawan bagi pribumi. Pada abad ke-17 Cina menguasai sektor perekonomian di Batavia, hal ini sangat penghabat para penjajah untuk menguasai Indonesia, apalagi jika bangsa Cina dan Pribumi bersatu maka sebuah ancaman yang sangat berbahaya bagi belanda. Bangsa Cina pernah menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal-kapal belanda yang masuk ke Batavia karena akan mengancam perekonomian pada waktu itu, akhirnya pertempuran tidak basa dielakkan.

Kemudian karena kejadian itu Belanda menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Cina dan pribumi. Nama "Kali Angke" yang terletak di Jakarta Utara "Sungai Merah" yang menggambarkan pembantaian pada orang Cina.
Tahun 1955-1965, perselisihan pun terjadi antara pribumi dan Cina. Keturunan Cina dituduh "tidak patriotik" karena tidak ikut serta dalam perang meraih kemerdekaan, akhirnya pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan peraturan yang membatasi peran Tionghoa dalam politik.

Pada pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yang berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis.
Puncaknya pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia dibunuh, diperkosa, dan milik mereka dijarah massa.

Di lain sisi saya akan sedikit menjelaskan Cina dan penyebaran Islam di Indonesia.seorang Tionghoa bernama Ceng Ho adalah orang yang membawa Syekh Quru (orang pertama yang menyebarkan Islam di Karawang dan Jawa barat dan merupakan salah satu guru dari Sunan Gunung Jati), bahkan tidak banyak yang tahu bahwa Cina adalah sekutu dari kerajaan Demak yang notabene adalah kerajaan Islam, jangan lupa pula bahwa bahwa 4 dari walisongo yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati adalah keturunan tionghoa. Bahkan salah satu teori masuknya Islam ke Indonesia, yaitu teori Mekah atau Arab Saudi yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang mengutip dari catatan seorang ahli geografi Chou Ku-Fei membuktikan bahwa cina juga berperang penting dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia.

Saya bukan seorang tionghoa, tapi dengan tulisan ini memungkinkan saya disebut sebagai pembela Cina atau bahkan komunis. Mari kita baca segala hal dari berbagai aspek. Jangan mengaku anti Cina kalau HP yang dipegang masih made in china, jangan ngaku anti china kalau beli produk lokal saja masih disebut hal yang kampungan, jangan bilang anti china kalau masih mencemooh buatan anak bangsa. Semua ini masalah politik belaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar